Thursday, 9 July 2009

Menggapai Loyalitas Nasabah Bank

Management Thought

Dr. Hargo Utomo, MBA., M.Com
Direktur Magister Manajemen,
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada (MMUGM).

By: Agustinus Gius Gala

Isu mengenai loyalitas ganda di kalangan nasabah bank memang bukanlah hal yang baru di industri perbankan. Fakta mengenai hal ini bisa saja diperoleh melalui observasi atau survai nasabah, baik individual maupun korporasi, terhadap jumlah dan aktifitas kepemilikan rekening mereka di bank. Memang, adanya kecenderungan nasabah memiliki rekening di beberapa bank seolah merupakan fenomena biasa dan sering dianggap praktik yang lumrah dalam industri yang terfragmentasi seperti halnya perbankan di negeri ini. Benarkah demikian? Telaah lebih jauh justru mengindikasi sebaliknya, yaitu adanya suatu celah di mana hubungan antara bank dan nasabah tidak sepenuhnya mencerminkan pemenuhan kebutuhan terhadap fungsi transaksi. Bukan hal yang tidak mungkin kalau sebenarnya hal itu mengindikasi adanya asymmetric information dari ancangan program atau kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan hubungan antara bank dan nasabah-nya (customer relationship management).

Pertanyaannya sekarang adalah, mengapa keberadaan unit-unit pengelolaan hubungan nasabah di lembaga perbankan tidak sepenuhnya mampu mengendalikan perilaku nasabah agar mereka tidak beralih ke sumber layanan keuangan lainnya? Sudah barang tentu jawaban atas pertanyaan itu akan sangat bergantung pada kemampuan para pelaku perbankan dalam memaknai arti penting kepuasan dalam bertransaksi dan implikasi logis dari loyalitas nasabah. Secara eksplisit, tulisan ini mencoba menguak kembali mengapa kepuasan nasabah terhadap suatu produk perbankan tidak sepenuhnya cukup untuk menjadi dasar pengelolaan bisnis perbankan dalam jangka panjang.

Debat literatur mengenai kepuasan nasabah (customer satisfaction) pada umumnya terjebak pada upaya simplifikasi atau pemodelan yang mengedepankan faktor-faktor penentu kepuasan, namun sangat jarang yang mengungkap tentang bagaimana proses konversi kepuasan menjadi loyalitas nasabah bank itu terjadi. Kompleksitas hubungan antar faktor yang membentuk perilaku nasabah ditengarai menjadi penyebab mengapa loyalitas nasabah seringkali luput dari perhatian para pelaku perbankan. Sisi Gelap Kepuasan Nasabah Hal menarik yang dapat dicerna dari adanya perubahan orientasi fungsional yang terjadi dalam industri perbankan adalah perlunya meredefinisi kembali mengenai arah dan tujuan yang ingin dicapai bisnis tersebut dalam jangka panjang.

Sebagai suatu lembaga perantara yang dikelola dengan aturan yang sangat ketat, bank sebenarnya memiliki keunikan karakter tersendiri yang dibutuhkan dalam mengelola hubungan dengan para nasabahnya. Hanya saja, kepuasan nasabah seolah menjadi suatu konsep baku yang hanya bertumpu pada persepsian nasabah terhadap faktor bunga bank atau bentuk insentif lain yang setara dengan hal itu. Kalau demikian halnya, maka hubungan antara bank dan nasabah terjadi semata-mata berdasar pada logika ekonomi baku mengenai besaran kemanfaatan dan biaya dari suatu transaksi perbankan. Nilai kepuasan yang semestinya diarahkan untuk pemenuhan terhadap ekspektasi atau harapan kedua belah pihak seringkali hanya diujudkan dalam bentuk pemenuhan terhadap suatu transaksi, sehingga yang muncul kemudian adalah berapa besaran yang diperoleh atau diberikan oleh masing-masing pihak dari aktifitas pertukaran yang terjadi.

Perilaku semacam ini bukan tidak mungkin dalam jangka panjang akan mendorong kedua belah pihak melanggengkan pandangan oportunistik dalam berbisnis. Dalam pandangan oportunistik, hubungan antara bank dan nasabah dipersepsikan tidak lebih sebagai bentuk hubungan transaksi jual-beli untuk produk-produk perbankan yang bersifat baku atau standar. Dengan cara itu, pola interaksi antara kedua belah pihak yang kemudian berkembang adalah tarik-menarik kekuatan atau kendali yang mengarah pada upaya dominasi peran untuk memperoleh kemanfaatan maksimal bagi dirinya. Durasi penguasaan terhadap aktifitas transaksi menjadi sesuatu yang krusial untuk menentukan besaran kemanfaatan yang diperoleh dari masing-masing pihak. Itu sebabnya, tidak jarang ditemui kalau para nasabah akan selalu mencari alternatif pembanding terhadap layanan jasa keuangan yang dibutuhkan.

Seorang nasabah bank kini seolah tidak cukup hanya mengandalkan pada layanan yang diberikan oleh satu bank saja, walaupun pihak bank seringkali sudah menawarkan jasa keuangan dengan pola ”one-stop-shop” bagi nasabahnya. Bagi nasabah, perilaku beralih bank dapat dianalogikan sebagai biaya pembelajaran yang dibutuhkan untuk mendapat kemanfaatan baru atau seperangkat harapan terhadap pemenuhan jasa keuangan dan perbankan. Dalam kondisi seperti itu, sensitifitas dalam pengendalian biaya untuk beralih layanan (switching costs) pada bank yang lain menjadi konsiderannya dalam memilih bank.Handling Switching CostsAsumsi dasar yang menyatakan bahwa hubungan antara bank dan nasabah mengikuti alur rasionalitas ekonomi mungkin sudah saatnya dikaji kembali.

Nasabah yang memiliki optimisme tinggi dalam memandang lingkungan bisnisnya, pada umumnya justru akan menggunakan ragam indikator untuk menangkap setiap peluang bisnis sebelum memutuskan untuk beralih atau membangun hubungan baru dengan suatu bank. Suatu studi empiris yang dilakukan oleh Barone dan Quantara (2008), ”Banking Competition, Switching Costs and Customer Vulnerability: The Case of South Italy”, The Icfai Journal of Behavioral Finance, Vol. 5., No. 1 mengungkap bahwa keputusan psikologis individual dalam memilih suatu bank terutama justru didasarkan pada keyakinannya terhadap lembaga perantara tersebut dan aksesibilitas geografis atau lokasi bank yang dimaksud.

Faktor pembentuk keyakinan individu memang tidak sepenuhnya bisa dijelaskan secara empiris, sehingga faktor-faktor heuristic and emotional bisa saja menjadi penentu dalam memilih bank sebagai mitra bisnisnya.Fenomena lain menarik yang ditemukan dalam studi tersebut adalah bahwa nasabah yang menyatakan tidak puas terhadap suatu bank tidak selalu otomatis mempunyai niatan untuk beralih ke bank lain terutama karena alasan ketidaknyamanan dengan biaya transaksi dan jumlah waktu terbuang untuk memulai berinteraksi dengan bank yang baru. Temuan itu memang bukan untuk tujuan generalisasi secara geografis, namun paling tidak ada satu pembelajaran yang dapat dipetik dan memiliki makna kontekstual dalam bisnis perbankan di negeri ini. Implikasi strategis dari temuan tersebut adalah bahwa penerapan tinggi-rendahnya faktor bunga bank dan besaran fee dibanding para bank pesaing bukan menjadi alasan pokok bagi nasabah untuk beralih atau tidak beralih ke bank lainnya.

Faktor lain seperti misalnya, adanya ikatan emosional (emotional bond) antara bank dan nasabah justru dapat menjadi faktor penentu dalam mengelola kepuasan yang mengarah pada loyalitas nasabah terhadap suatu bank. Fenomena yang mengindikasi adanya keraguan terhadap loyalitas nasabah memang sudah saatnya dicarikan alternatif solusinya terutama dalam situasi persaingan antar bank yang sangat tajam, tuntutan pemenuhan variasi kebutuhan nasabah, adopsi kemajuan teknologi perbankan, atau pun karena pengaruh faktor ketidakpastian yang muncul karena perubahan lingkungan ekonomi dan bisnis lainnya. Itu artinya, sudah saatnya bagi pengelola bank untuk memikirkan kembali penguasaan terhadap intangible assets yang dimiliki sehingga diharapkan mampu menjadi sesuatu yang bermakna untuk menggapai loyalitas nasabah dalam jangka panjang.

~From Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (MMUGM)~

No comments:

Post a Comment