Showing posts with label Inspirations and Wisdoms. Show all posts
Showing posts with label Inspirations and Wisdoms. Show all posts

Wednesday, 8 July 2009

Terry Fox, Anak Muda Pembangkit Semangat

Don't argue for other people's weaknesses. Don't argue for your own. When you make a mistake, admit it, correct it, and learn from it / immediately
~Stephen R. Covey~

By Agustinus Gius Gala

JAKARTA, KOMPAS.com - Kehadiran sebuah patung di Kampus Universitas Simon Fraser itu seolah tak henti memompakan semangat pantang putus asa dalam berusaha kepada kaum muda. Itulah patung Terry Fox, dengan kaki kanan palsu dan diresmikan September 2001.
Siapakah Terry Fox? Ia bukan politikus. Bukan pula penguasa, dan bukan pejabat penting suatu negara.
Terry Fox adalah seorang mahasiswa kelahiran Winnipeg, Manitoba-Kanada, 28 Juli 1958, yang terpaksa mengubur cita-citanya karena menderita kanker tulang. Meski demikian, ia gigih menghimpun dana untuk penelitian kanker melalui lari maraton yang disebutnya maraton pengharapan (Marathon of Hope). Upaya Terry Fox ternyata mengundang perhatian dunia.

Vonis Kanker Seperti anak muda lain, Terry Fox sejak muda amat menyukai olahraga basket. Kesukaannya itu diteruskan ketika diterima sebagai mahasiswa tahun pertama jurusan kinesiologi di Universitas Simon Fraser di Vancouver, Kanada. Di universitas itu, ia juga diterima sebagai anggota tim bola basket.
Namun, kesukaan bermain basket ini tidak bisa dipertahankan karena ia sering merasakan kesakitan yang amat sangat pada kaki kanannya. Dari pemeriksaan dokter diketahui, Terry yang baru berumur 18 tahun itu mengidap kanker tulang. Akibatnya, kaki kanan Terry harus diamputasi sekitar enam inci (sekitar 15 cm) di atas lutut. Pada saat itu, dunia kedokteran belum menemukan cara lain untuk pengobatan kanker, selain diamputasi. Saat diamputasi, Terry sempat kehilangan semangat hidup.

Beruntung, keluarga tak henti memberi semangat untuk hidup. Selain itu, Terry menyadari betapa dukungan masyarakat umum untuk penelitian kanker masih kurang. Dari permenungan itulah, Terry mendapatkan ide untuk melakukan aktivitas maraton pengharapan dengan melintasi Kanada sejauh 5.000 mil.
Meski sempat ditentang banyak orang, termasuk ibunya—Betty Fox—Terry tetap mewujudkan keinginannya. Marathon of Hope pun dimulai pada 12 April 1980 dari St John, Newfoundland. Dengan menggunakan kaki kanan palsu, Terry Fox berlari tertatih-tatih melintasi jalan-jalan di Kanada. Meski semula banyak orang tak menghiraukan aktivitas Terry, lama-kelamaan perjuangan ini menarik perhatian. Bagai gelombang, antusiasme masyarakat makin lama makin besar. Meski Terry pantang menyerah, penyakit kanker agaknya lebih cepat dan lebih ganas menyerang. Tanggal 1 September 1980 adalah hari ke-143 Terry melakukan Marathon of Hope. Perjalanan pun sudah ditempuh sejauh 5.373 km dan Terry sudah mencapai Thunder Bay, Ontario.

Saat itu Terry merasakan dadanya amat sakit. Ia lalu dilarikan ke rumah sakit. Ternyata kanker sudah menyerang paru- paru. Dokter meminta Terry menghentikan aktivitasnya. Keinginan Terry untuk melintasi Kanada sejauh 5.000 mil dan ingin merendam kaki palsu di Lautan Atlantik pun sirna. Pada tanggal 28 Juni 1981, Terry Fox meninggal pada usia 22 tahun.
Menjadi Teladan . Kini, kegigihan, semangat, dan keberanian Terry tidak hanya dikenang, tetapi juga dijadikan teladan bagi kaum muda dan bangsa Kanada. Untuk mengenang Terry, dibentuk yayasan Terry Fox Foundation. Berbagai aktivitas yayasan ini dimaksudkan untuk mengumpulkan dana guna penggalakan penelitian penyakit kanker.

Menjelang olimpiade musim dingin tahun 2010, Pemerintah Kanada juga ”menggunakan” Terry Fox sebagai ”maskot” untuk memompa semangat, kegigihan berjuang, dan keberanian para atlet dalam menghadapi tantangan.
Masyarakat Kanada tak akan pernah melupakan kegigihan Terry Fox. Tak hanya itu, kebulatan tekad, rasa kemanusiaan, dan tak mementingkan diri telah menjadi inspirasi bagi jutaan masyarakat di dunia, tak terkecuali di Indonesia.
Pada November 2004, masyarakat Kanada telah memilih Terry Fox sebagai pahlawan besar abad ke-20. Setiap bulan September, Terry Fox selalu dirayakan dan dikenang secara internasional. Penghargaan besar ini ikut memompa semangat anak-anak muda, terutama mahasiswa Universitas Simon Fraser yang sedang menempuh studi.

Wednesday, 1 July 2009

Nothing Fails Like Success




"Your power to choose the direction of your life allows you to
reinvent yourself, to change your future, and to powerfully
influence the rest of create."
~Dr. Stephen R. Covey~

By: Agustinus Gius Gala

Are you struggling to make changes or respond to changing conditions? I know many people right now are being forced to change the way they work or live because of our turbulent environment. What we might all consider in these times is what the great historian Arnold Toynbee once said: Nothing fails like success.

What does that mean exactly? Well, if you consider the challenges you’re facing, you might just be using an old approach that isn’t equal to the challenge. In other words, when we have a challenge and the response is equal to the challenge, that’s called success. But once we have a new challenge, the old, once successful response no longer works. That’s why it’s called a failure.
We have to examine our paradigms (our view of things), our tools, our skills to determine if we’re approaching the problem in the right way. As a first step, we may even step back and make sure we’ve correctly defined the problem. Then we need to see if, based on the evidence of results or lack of results, if we need a new approach.

As you ponder your challenges, consider if you need a new mindset, a new skillset or toolset. You may need to adjust your view, try a different perspective or a new way to think about it. Then you may need to acquire some new skills or tools to tackle the problem. What ever the case, you may need to find a new model to drive success. This can be an exciting proposition because you will most likely find new growth and development in the process—this is success!
Remember: nothing fails like success. Be vigilant and be ready to continually learn and adapt to new challenges, which will surely come your way.
~From Stephen Covey~

Tuesday, 23 June 2009

The Persuit of Happyness













Chris Gardner

By Agustinus Gius Gala


Christopher Gardner is the owner and CEO of Gardner Rich LLC with offices in New York, Chicago, and San Francisco. Conquering grave challenges to become a successful entrepreneur, Gardner is an avid motivational and aspirational speaker, addressing the keys to overcoming obstacles and breaking cycles. Gardner is also a passionate philanthropist whose work has been recognized by many esteemed organizations.

The amazing story of Gardner’s life was published as an autobiography, The Pursuit of Happyness, (Amistad/Harper Collins) in May 2006, and became a New York Times and Washington Post #1 bestseller. In paperback, the book spent over twenty weeks on the New York Times bestseller list and has been translated into fourteen languages. Gardner was also the inspiration for the movie “The Pursuit of Happyness,” released by Columbia Pictures in December 2006. The movie is the #2 all-time domestic grossing drama. Will Smith starred as Gardner and received Academy Award, Golden Globe and Screen Actors Guild nominations for his performance. Gardner was an associate producer on the film.
Gardner’s second book, Start Where You Are: Life Lessons in Getting From Where You Are to Where You Want to Be will be published on May 12, 2009.

Born February 9, 1954 in Milwaukee, Wisconsin, Christopher Paul Gardner’s childhood was marked by poverty, domestic violence, alcoholism, sexual abuse and family illiteracy. Gardner published his autobiography out of a desire to shed light on these universal issues and show they do not have to define you. Gardner never knew his father, and lived with his beloved mother, Bettye Jean Triplett (nee Gardner), when not in foster homes. Gardner is indebted to Bettye Jean for his success as she provided him with strong “spiritual genetics” and taught him that in spite of where he came from, he could chart another path and attain whatever goals he set for himself.

Gardner joined the Navy out of high school and then moved to San Francisco where he worked as a medical research associate and for a scientific medical supply distributor. In 1981, as a new father to son Christopher Gardner Jr., he was determined to find a career that would be both lucrative and fulfilling. Fascinated by finance, but without connections, an MBA or even a college degree, Gardner applied for training programs at brokerages, willing to live on next to nothing while he learned a new trade. Chris Jr.‘s mother left and Gardner, despite his circumstances, fought to keep his son because, as he says, “I made up my mind as a young kid that when I had children they were going to know who their father is, and that he isn’t going anywhere.”
Gardner earned a spot in the Dean Witter Reynolds training program but became homeless when he could not make ends meet on his meager trainee salary. Today, Gardner is involved with homelessness initiatives assisting families to stay intact, and assisting homeless men and women who are employed but still cannot get by. It is estimated that 12% of the homeless population in the United States is employed; in some communities that estimate is as high as 30%.

Gardner worked at Bear Stearns & Co from 1983-1987 where he became a top earner. In 1987 he founded the brokerage firm Gardner Rich in Chicago from his home with just $10,000. Gardner Rich LLC is an institutional brokerage firm specializing in the execution of debt, equity and derivative products transactions for some of the nations largest institutions, public pension plans and unions. Dedicated to improving the well-being of children through positive paternal involvement, Gardner is a board member of the National Fatherhood Initiative, and received the group’s Father of the Year Award in 2002. He serves on the board of the National Education Foundation and sponsors two annual awards: the National Education Association’s National Educational Support Personnel Award and the American Federation of Teachers’ Paraprofessionals and School-Related Personnel (PSRP) Award.

He also serves on the board of the International Rescue Committee, which works to provide access to safety, sanctuary, and sustainable change for millions of people whose lives have been shattered by violence and oppression. Gardner is still very committed to Glide Memorial Church in San Francisco, where he and his son received assistance in the early 1980’s. He has helped fund a project that creates low-income housing and opportunities for employment in the notoriously poor Tenderloin area of the city. Gardner has also been honored by the NAACP Image Awards with awards for both the book and movie versions of The Pursuit of Happyness; Los Angeles Commission on Assaults Against Women’s (LACAAW) 2006 Humanitarian Award; The Continental Africa Chamber of Commerce’s 2006 Friends of Africa Award; The Glaucoma Foundation’s Kitty Carlisle Hart Lifetime Achievement Award; The Securities Industry and Financial Markets Association (SIFMA); Covenant House, Common Ground and other organizations committed to combating violence against women, homelessness, and financial illiteracy; issues of the utmost importance to Gardner.

Chris Gardner’s aim, through his speaking engagements and media projects, is to help others achieve their full potential. His practical guidance and inspirational story have made him a frequent guest on CNN, CNBC and the Fox News Channel. He has been featured on “The CBS Evening News,” “20/20,” “Oprah,” “Today Show,” “The View,” “Entertainment Tonight,” as well as in People, USA Today, Associated Press, New York Times, Fortune, Entrepreneur, Jet, Reader’s Digest, Trader Monthly, Chicago Tribune, San Francisco Chronicle, The New York Post and the Milwaukee Journal Sentinel, amongst others.
Gardner has two children and resides in Chicago and New York.

~From Chris Gardnermedia~

Friday, 19 June 2009

Pengusaha "Berdinas" Celana Pendek

Bob Sadino


Jangan mengeluh dengan keadaan
~Om Bob Sadino~

By Agustinus Gius Gala

Biografi:
Nama : Bob Sadino
Lahir : Tanjungkarang, Lampung, 9 Maret 1933
Agama : Islam
Ayah : Sadino
Anak : Dua Orang

Pendidikan:
SD, Yogyakarta (1947)
SMP, Jakarta (1950)
SMA, Jakarta (1953)

Karir:
Karyawan Unilever (1954-1955)
Karyawan Djakarta Lloyd, Amsterdam dan Hamburg (1950-1967)
Pemilik Tunggal Kem Chicks Supermarket (1969)
Dirut PT Boga Catur Rata
PT Kem Foods (pabrik sosis dan daging ham)
PT Kem Farms (kebun sayur)

Bob Sadino kembali ke Indonesia pada tahun 1967, setelah bertahun-tahun di Eropa dengan pekerjaan terakhir sebagai karyawan Djakarta Lloyd di Amsterdam dan Hamburg, anak bungsu dari lima bersaudara ini hanya punya satu tekad, yaitu bekerja tanpa harus di bawah perintah orang lain. Ayahnya, Sadino orang Solo yang jadi guru kepala di SMP dan SMA Tanjungkarang, meninggal ketika Bob berusia 19. Ini telah menjadi tantangan baginya, sehingga akhirnya ia harus hidup mandiri. Modal yang Bob bawa dari Eropa hanya dua mobil Mercedes buatan tahun 1960-an. Satu ia jual untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan, yang ketika itu masih sepi dan lebih berupa sawah dan kebun. Mobil satunya lagi ia jadikan taksi dan Bob sendiri yang menjadi sopirnya. Bob menerima pemberian 50 ekor ayam ras dari seorang temannya.

Ia berhasil menjadi pemilik tunggal Kem Chicks dan pengusaha perladangan sayur sistem hidroponik. Lalu ada Kem Food, pabrik pengolahan daging di Pulogadung, dan sebuah warung shaslik di Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Catatan awal tahun 1985 menyebutkan, rata-rata per bulan perusahaan Bob menjual 40-50 ton daging segar, 60-70 ton daging olahan, dan sayuran segar 100 ton. Bob memberikan contoh salah satu hasil penjualan produknya, yaitu bisa menjual kangkung per kilo Rp 1.000. Ia tidak mau bergerak di luar bisnis makanan. Baginya, bidang yang ditekuninya sekarang tidak akan ada habisnya. Om Bob, demikian ia biasa dipanggil oleh bawahannya tidak melakukan olah raga khusus. Haji yang menyukai musik klasik dan jazz ini mengakui, saat-saat yang paling indah baginya adalah ketika bersembahyang jamaah dengan kedua anaknya.

Pengusaha Berpakaian Dinas Celana Pendek

Pria berpakaian ”dinas” celana pendek jin dan kemeja lengan pendek yang ujung lengannya tidak dijahit, ini adalah salah satu sosok entrepreneur sukses yang memulai usahanya benar-benar dari bawah dan bukan berasal dari keluarga wirausaha. Pendiri dan pemilik tunggal Kem Chicks (supermarket), ini mantan sopir taksi dan karyawan Unilever yang kemudian menjadi pengusaha sukses.Titik balik yang getir menimpa keluarga Bob Sadino. Bob rindu pulang kampung setelah merantau sembilan tahun di Amsterdam, Belanda dan Hamburg, Jerman, sejak tahun 1958. Ia membawa pulang istrinya, mengajaknya hidup serba kekurangan. Padahal mereka tadinya hidup mapan dengan gaji yang cukup besar.Sekembalinya di tanah air, Bob bertekad tidak ingin lagi jadi karyawan yang diperintah atasan. Karena itu ia harus kerja apa saja untuk menghidupi diri sendiri dan istrinya. Ia pernah jadi sopir taksi. Mobilnya tabrakan dan hancur. Lantas beralih jadi kuli bangunan dengan upah harian Rp 100.Suatu hari, temannya menyarankan Bob memelihara ayam untuk melawan depresi yang dialaminya. Bob tertarik.

Ketika beternak ayam itulah muncul inspirasi berwirausaha. Bob memperhatikan kehidupan ayam-ayam ternaknya. Ia mendapat ilham, ayam saja bisa berjuang untuk hidup, tentu manusia pun juga bisa.Sebagai peternak ayam, Bob dan istrinya, setiap hari menjual beberapa kilogram telor. Dalam tempo satu setengah tahun, ia dan istrinya memiliki banyak langganan, terutama orang asing, karena mereka fasih berbahasa Inggris. Bob dan istrinya tinggal di kawasan Kemang, Jakarta, di mana terdapat banyak menetap orang asing.Tidak jarang pasangan tersebut dimaki pelanggan, babu orang asing sekalipun. Namun mereka mengaca pada diri sendiri, memperbaiki pelayanan. Perubahan drastis pun terjadi pada diri Bob, dari pribadi feodal menjadi pelayan. Setelah itu, lama kelamaan Bob yang berambut perak, menjadi pemilik tunggal super market (pasar swalayan) Kem Chicks. Ia selalu tampil sederhana dengan kemeja lengan pendek dan celana pendek.Bisnis pasar swalayan Bob berkembang pesat, merambah ke agribisnis, khususnya holtikutura, mengelola kebun-kebun sayur mayur untuk konsumsi orang asing di Indonesia.

Karena itu ia juga menjalin kerjasama dengan para petani di beberapa daerah.Bob percaya bahwa setiap langkah sukses selalu diawali kegagalan demi kegagalan. Perjalanan wirausaha tidak semulus yang dikira. Ia dan istrinya sering jungkir balik. Baginya uang bukan yang nomor satu. Yang penting kemauan, komitmen, berani mencari dan menangkap peluang.Di saat melakukan sesuatu pikiran seseorang berkembang, rencana tidak harus selalu baku dan kaku, yang ada pada diri seseorang adalah pengembangan dari apa yang telah ia lakukan. Kelemahan banyak orang, terlalu banyak mikir untuk membuat rencana sehingga ia tidak segera melangkah. “Yang paling penting tindakan,” kata Bob.Keberhasilan Bob tidak terlepas dari ketidaktahuannya sehingga ia langsung terjun ke lapangan. Setelah jatuh bangun, Bob trampil dan menguasai bidangnya. Proses keberhasilan Bob berbeda dengan kelaziman, mestinya dimulai dari ilmu, kemudian praktik, lalu menjadi trampil dan profesional.Menurut Bob, banyak orang yang memulai dari ilmu, berpikir dan bertindak serba canggih, arogan, karena merasa memiliki ilmu yang melebihi orang lain.Sedangkan Bob selalu luwes terhadap pelanggan, mau mendengarkan saran dan keluhan pelanggan. Dengan sikap seperti itu Bob meraih simpati pelanggan dan mampu menciptakan pasar.

Menurut Bob, kepuasan pelanggan akan menciptakan kepuasan diri sendiri. Karena itu ia selalu berusaha melayani pelanggan sebaik-baiknya.Bob menempatkan perusahaannya seperti sebuah keluarga. Semua anggota keluarga Kem Chicks harus saling menghargai, tidak ada yang utama, semuanya punya fungsi dan kekuatan.Anak GuruKembali ke tanah air tahun 1967, setelah bertahun-tahun di Eropa dengan pekerjaan terakhir sebagai karyawan Djakarta Lloyd di Amsterdam dan Hamburg, Bob, anak bungsu dari lima bersaudara, hanya punya satu tekad, bekerja mandiri. Ayahnya, Sadino, pria Solo yang jadi guru kepala di SMP dan SMA Tanjungkarang, meninggal dunia ketika Bob berusia 19.Modal yang ia bawa dari Eropa, dua sedan Mercedes buatan tahun 1960-an. Satu ia jual untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan. Ketika itu, kawasan Kemang sepi, masih terhampar sawah dan kebun. Sedangkan mobil satunya lagi ditaksikan, Bob sendiri sopirnya.Suatu kali, mobil itu disewakan. Ternyata, bukan uang yang kembali, tetapi berita kecelakaan yang menghancurkan mobilnya. ”Hati saya ikut hancur,” kata Bob. Kehilangan sumber penghasilan, Bob lantas bekerja jadi kuli bangunan. Padahal, kalau ia mau, istrinya, Soelami Soejoed, yang berpengalaman sebagai sekretaris di luar negeri, bisa menyelamatkan keadaan. Tetapi, Bob bersikeras, ”Sayalah kepala keluarga. Saya yang harus mencari nafkah.”Untuk menenangkan pikiran, Bob menerima pemberian 50 ekor ayam ras dari kenalannya, Sri Mulyono Herlambang. Dari sini Bob menanjak: Ia berhasil menjadi pemilik tunggal Kem Chicks dan pengusaha perladangan sayur sistem hidroponik. Lalu ada Kem Food, pabrik pengolahan daging di Pulogadung, dan sebuah ”warung” shaslik di Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta.

Catatan awal 1985 menunjukkan, rata-rata per bulan perusahaan Bob menjual 40 sampai 50 ton daging segar, 60 sampai 70 ton daging olahan, dan 100 ton sayuran segar.”Saya hidup dari fantasi,” kata Bob menggambarkan keberhasilan usahanya. Ayah dua anak ini lalu memberi contoh satu hasil fantasinya, bisa menjual kangkung Rp 1.000 per kilogram. ”Di mana pun tidak ada orang jual kangkung dengan harga segitu,” kata Bob.Om Bob, panggilan akrab bagi anak buahnya, tidak mau bergerak di luar bisnis makanan. Baginya, bidang yang ditekuninya sekarang tidak ada habis-habisnya. Karena itu ia tak ingin berkhayal yang macam-macam.Haji yang berpenampilan nyentrik ini, penggemar berat musik klasik dan jazz. Saat-saat yang paling indah baginya, ketika shalat bersama istri dan dua anaknya.

~From Biography of Bob Sadino~

Friday, 5 June 2009

Ordinary People Can Win

David DeFord
Everest Survivor
By Agustinus Gius Gala

Seaborn Beck Weathers, a pathologist from Dallas, loves adventure. He climbed many mountains his adventure quest. He admits that in his pursuit of exploration, he seriously neglected his family.
In 1996 Weathers joined 10 other climbers on the ultimate mountain experience—Everest. Unfortunately, this trek coincided with one of the most devastating storms on record. Temperatures dipped to 60 below zero, and the wind whipped the beleaguered team at 70 miles per hour. Since 1921, Everest claimed 150 lives. On May 10, 1996, due to the storm, 8 people were killed—including four from Weather’s team--the worst day on Everest in 75 years.

In the midst of this terrible storm, a serious eye condition aggravated by the high altitude rendered him temporarily blind. As the team struggled to descend, Weathers became separated from the group. Blind, whipped by the wind, and freezing, he fell. Dr. Weathers became fully coated with ice—even his face lay under a thick layer. Others of his party came upon him, but seeing almost no respiratory activity, they were forced to leave him and let the mountain claim him.

Beck heard their conversation and their decision to leave him, but was unable to respond.
As he lay on the side of the world’s tallest mountain, Weathers thought of his family back in Texas. He thought about his neglect of them, and his continual quest for adventure. He realized that in moments he would die and that he would never see his family again.“This is not acceptable!” he said to himself. He decided to fight. Beck started slightly moving his fingers, then his arm. Eventually, he rose to his feet. Blind, he slowly started shuffling in the direction he thought would take him to his camp.

Miraculously, he wandered close enough to camp that his teammates saw him. They could not recognize him in his frozen state. They helped him into a tent, and treated his terribly frozen limbs and face.
The only way to get him down from the mountain was by helicopter. A rescue of this type had never been tried at such a high altitude. But a courageous pilot maneuvered the chopper onto the mountain side allowing the team to load the fading Weathers. Both of his hands had to be amputated and he lost his nose and ears. After years of rehabilitation he has reclaimed his life. Dr. Weathers continues his pathology practice and has become a successful author and public speaker. His positive approach to adversity has inspired thousands.
In his books and speeches Beck tells others about what he has learned—and how we can apply these bits of wisdom to our lives.

First, we all must have a defining moment to initiate true change. His defining moment came on the mountainside as he realized that he was soon to perish and that he wouldn’t see his family again. Ours can come from some discomfort or realization that some unacceptable occurrence is imminent.
Second, if our purpose is strong enough, we can press toward achievement of goals. At first Weathers was unable to even respond to his rescuers. Then, his thoughts of his family spurred him to begin moving fingers, then get to his feet, and then find camp in spite of the low likelihood of success. We, too, can achieve our greatest and most difficult goals if our purpose is strong. Third, when others would have given up, he persevered. He made it to camp where treatment and rescue could occur.
I encourage you to think of times where you have had defining moments, strong purpose, and perseverance. As you apply these traits, you can achieve most anything you desire.


"Most of the important things in the world have been accomplished by people who have kept on trying when there seemed to be no help at all." Dale Carnegie

"Sure I am of this, that you have only to endure to conquer. You have only to persevere to save yourselves." Winston Churchill

"What we do not see, what most of us never suspect of existing, is the silent but irresistible power which comes to the rescue of those who fight on in the face of discouragement." Napoleon Hill

"When you are down on your back, if you can look up, you can get up." Les Brown

"I've come to believe that all my past failure and frustration were actually laying the foundation for the understandings that have created the new level of living I now enjoy." Anthony (Tony) Robbins.

~From Ordinary People Can Win~

Keseimbangan Hidup

Andrie Wongso
Motivator No.1 Indonesia

"Succes is My Right!"
~Andrie Wongso~

Dikisahkan, suatu hari ada seorang anak muda yang tengah menanjak karirnya tapi merasa hidupnya tidak bahagia. Istrinya sering mengomel karena merasa keluarga tidak lagi mendapat waktu dan perhatian yang cukup dari si suami. Orang tua dan keluarga besar, bahkan menganggapnya sombong dan tidak lagi peduli kepada keluarga besar. Tuntutan pekerjaan membuatnya kehilangan waktu untuk keluarga, teman-teman lama, bahkan saat merenung bagi dirinya sendiri.

Hingga suatu hari, karena ada masalah, si pemuda harus mendatangi salah seorang petinggi perusahaan di rumahnya. Setibanya di sana, dia sempat terpukau saat melewati taman yang tertata rapi dan begitu indah.
"Hai anak muda. Tunggulah di dalam. Masih ada beberapa hal yang harus Bapak selesaikan," seru tuan rumah. Bukannya masuk, si pemuda menghampiri dan bertanya, "Maaf, Pak. Bagaimana Bapak bisa merawat taman yang begitu indah sambil tetap bekerja dan bisa membuat keputusan-keputusan hebat di perusahaan kita?"
Tanpa mengalihkan perhatian dari pekerjaan yang sedang dikerjakan, si bapak menjawab ramah, "Anak muda, mau lihat keindahan yang lain? Kamu boleh kelilingi rumah ini. Tetapi, sambil berkeliling, bawalah mangkok susu ini. Jangan tumpah ya. Setelah itu kembalilah kemari".

Dengan sedikit heran, namun senang hati, diikutinya perintah itu. Tak lama kemudian, dia kembali dengan lega karena mangkok susu tidak tumpah sedikit pun. Si bapak bertanya, "Anak muda. Kamu sudah lihat koleksi batu-batuanku? Atau bertemu dengan burung kesayanganku?"
Sambil tersipu malu, si pemuda menjawab, "Maaf Pak, saya belum melihat apa pun karena konsentrasi saya pada mangkok susu ini. Baiklah, saya akan pergi melihatnya."
Saat kembali lagi dari mengelilingi rumah, dengan nada gembira dan kagum dia berkata, "Rumah Bapak sungguh indah sekali, asri, dan nyaman." tanpa diminta, dia menceritakan apa saja yang telah dilihatnya. Si Bapak mendengar sambil tersenyum puas sambil mata tuanya melirik susu di dalam mangkok yang hampir habis. Menyadari lirikan si bapak ke arah mangkoknya, si pemuda berkata, "Maaf Pak, keasyikan menikmati indahnya rumah Bapak, susunya tumpah semua".

"Hahaha! Anak muda. Apa yang kita pelajari hari ini? Jika susu di mangkok itu utuh, maka rumahku yang indah tidak tampak olehmu. Jika rumahku terlihat indah di matamu, maka susunya tumpah semua. Sama seperti itulah kehidupan, harus seimbang. Seimbang menjaga agar susu tidak tumpah sekaligus rumah ini juga indah di matamu. Seimbang membagi waktu untuk pekerjaan dan keluarga. Semua kembali ke kita, bagaimana membagi dan memanfaatkannya. Jika kita mampu menyeimbangkan dengan bijak, maka pasti kehidupan kita akan harmonis".
Seketika itu si pemuda tersenyum gembira, "Terima kasih, Pak. Tidak diduga saya telah menemukan jawaban kegelisahan saya selama ini. Sekarang saya tahu, kenapa orang-orang menjuluki Bapak sebagai orang yang bijak dan baik hati".

Teman-teman yang luar biasa,Dapat membuat kehidupan seimbang tentu akan mendatangkan keharmonisan dan kebahagiaan. Namun bisa membuat kehidupan menjadi seimbang, itulah yang tidak mudah.
Saya kira, kita membutuhkan proses pematangan pikiran dan mental. Butuh pengorbanan, perjuangan, dan pembelajaran terus menerus. Dan yang pasti, untuk menjaga supaya tetap bisa hidup seimbang dan harmonis, ini bukan urusan 1 atau 2 bulan, bukan masalah 5 tahun atau 10 tahun, tetapi kita butuh selama hidup. Selamat berjuang!

Demikian dari saya,
Andrie Wongso - action and wisdom motivation training.
Success is my right, sukses adalah hak saya!Salam sukses luar biasa!!